"Yang jadi masalah, perubahan ini dilakukan tanpa penjelasan yang jelas kepada ahli waris. Bahkan, saat itu pihak bank sempat datang ke rumah orang tua almarhum dan menjanjikan keringanan angsuran kalau membayar Rp 1 juta. Tapi janji itu tidak ditepati. Justru, tenor pinjamannya malah diperpanjang," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa perombakan perjanjian dilakukan saat Kelana Sitepu dalam kondisi sakit, yang menurut Yosef justru memperburuk kondisi fisik dan psikologis almarhum hingga akhirnya meninggal.
Baca Juga:
Nekat Potong Kaki demi Asuransi, Rencana Jahat 2 Mahasiswa Ini Akhirnya Terbongkar
"Restrukturisasi itu dilakukan ketika beliau sedang sakit. Ini jelas tidak sah secara hukum, karena perjanjian harus dibuat oleh orang yang sehat secara fisik dan mental," kata Yosef.
Masalah semakin pelik ketika pihak bank tidak mengajukan klaim ke perusahaan asuransi setelah Kelana Sitepu wafat.
"Pihak asuransi mengatakan tidak bisa membayar karena tidak ada pengajuan klaim dari bank. Ini mengecewakan karena seharusnya bank yang bertindak," ujar Yosef.
Baca Juga:
5 langkah Hindari Gagal Klaim Asuransi
Ia juga menegaskan bahwa keluarga tidak pernah menerima informasi mengenai sisa utang almarhum, tetapi malah mendapat tekanan berupa tagihan dan ancaman lelang aset.
"Seharusnya kalau debitur meninggal, bank langsung cek status asuransi dan informasikan ke ahli waris. Tapi ini tidak. Mereka diam saja, lalu menagih bunga bertahun-tahun," tambahnya.
Dalam proses mediasi yang telah dilakukan dua kali di Pengadilan Negeri Binjai, tidak satu pun menghasilkan titik temu.