Binjai.WAHANANEWS.CO - Kasus sengketa antara keluarga almarhum Kelana Sitepu dengan sebuah bank swasta dan perusahaan asuransi jiwa masih terus berproses di Pengadilan Negeri Binjai.
Pihak keluarga menggugat dua institusi tersebut karena dianggap tidak menunaikan kewajiban membayar klaim asuransi jiwa, padahal Kelana Sitepu telah meninggal dunia sejak tahun 2017.
Baca Juga:
Nekat Potong Kaki demi Asuransi, Rencana Jahat 2 Mahasiswa Ini Akhirnya Terbongkar
Perkara ini tercatat dengan nomor 8/Pdt.G/2025/PN Bnj dan didaftarkan pada 11 Maret 2023.
Persidangan dipimpin langsung oleh Hakim Mukhtar, dengan empat orang ahli waris sebagai penggugat: Edi Rianta Sitepu, Dikki Heriawan Sitepu, Tommy Efendi Sitepu, dan Neta Nopiana Sitepu.
Kuasa hukum keluarga Sitepu, Darman Yosef Sagala, menjelaskan bahwa pada 12 Mei 2014 almarhum menandatangani perjanjian kredit dengan salah satu bank swasta untuk pinjaman modal kerja sebesar Rp 325 juta.
Baca Juga:
5 langkah Hindari Gagal Klaim Asuransi
"Pinjaman itu berdurasi 48 bulan dan seharusnya lunas pada 12 Mei 2018. Dalam perjanjian itu, almarhum juga mengikuti program asuransi jiwa yang ditawarkan bank," ungkap Yosef saat diwawancarai pada Jumat (18/4/2025).
Menurut Yosef, asuransi tersebut dirancang sebagai bentuk perlindungan apabila nasabah mengalami risiko meninggal dunia, sehingga pinjaman bisa dianggap lunas.
Namun, prosesnya tidak berjalan sesuai harapan. Yosef mengungkapkan bahwa perjanjian kredit sempat mengalami dua kali perubahan, yaitu pada 16 April 2015 dan 23 Desember 2015.
"Yang jadi masalah, perubahan ini dilakukan tanpa penjelasan yang jelas kepada ahli waris. Bahkan, saat itu pihak bank sempat datang ke rumah orang tua almarhum dan menjanjikan keringanan angsuran kalau membayar Rp 1 juta. Tapi janji itu tidak ditepati. Justru, tenor pinjamannya malah diperpanjang," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa perombakan perjanjian dilakukan saat Kelana Sitepu dalam kondisi sakit, yang menurut Yosef justru memperburuk kondisi fisik dan psikologis almarhum hingga akhirnya meninggal.
"Restrukturisasi itu dilakukan ketika beliau sedang sakit. Ini jelas tidak sah secara hukum, karena perjanjian harus dibuat oleh orang yang sehat secara fisik dan mental," kata Yosef.
Masalah semakin pelik ketika pihak bank tidak mengajukan klaim ke perusahaan asuransi setelah Kelana Sitepu wafat.
"Pihak asuransi mengatakan tidak bisa membayar karena tidak ada pengajuan klaim dari bank. Ini mengecewakan karena seharusnya bank yang bertindak," ujar Yosef.
Ia juga menegaskan bahwa keluarga tidak pernah menerima informasi mengenai sisa utang almarhum, tetapi malah mendapat tekanan berupa tagihan dan ancaman lelang aset.
"Seharusnya kalau debitur meninggal, bank langsung cek status asuransi dan informasikan ke ahli waris. Tapi ini tidak. Mereka diam saja, lalu menagih bunga bertahun-tahun," tambahnya.
Dalam proses mediasi yang telah dilakukan dua kali di Pengadilan Negeri Binjai, tidak satu pun menghasilkan titik temu.
Pada sesi mediasi pertama, Hakim mediator Maria Mutiara sempat meminta pihak bank melengkapi dokumen yang dibutuhkan, termasuk surat kuasa untuk keperluan proses hukum.
Namun, pada mediasi kedua yang berlangsung 15 April 2025, bank kembali datang tanpa dokumen yang diminta.
Akibat kebuntuan ini, keluarga Sitepu akhirnya menempuh jalur gugatan.
Mereka meminta pengadilan memutuskan bahwa utang pinjaman almarhum telah dianggap lunas setelah klaim asuransi dicairkan.
Mereka juga menuntut agar proses lelang atas agunan properti almarhum dibatalkan, serta meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 2,7 miliar dan immateriil senilai Rp 20 miliar.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]